Biru lautan tak seindah sikapmu. Keras ombaknya, lambang
arogansimu. Otot dan otakmu tak lagi berimbang. Tak tau mana lawan dan mana
kawanmu.
Kau perisai bagi rakyatmu, kau juga duri dalam dagingku. Mana janji tulus setiamu. Karna besi, kau lawan bangsamu," demikian puisi tak berjudul yang dibacakan Usama, seorang pewarta foto "Haluan Papua" dalam ungkapan orasi "bernada" seni, Jumat sore.
Puisi tersebut mengandung makna tentang kekerasan oknum TNI & POLRI terhadap sejumlah wartawan yang mendapatkan tindak penganiayaan saat meliput berita Pelanggaran HAM Berat di Papua Barat Selama ini.
Bernada semilu, insan pers secara bergantian membacakan bait demi bait puisi tentang kebebasan pers yang terkekang, "terperangkap dalam sangkar burung, bukan emas namun kagalauan."
Apakah ini sebuah peringatan ? "Jika rakyat pergi, ketika penguasa pidato. Kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat bersembunyi, dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, maka kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan...!, demikian puisi Para “Oweack” yang dibacakan oleh Usama Usman Yogobi.
oweack merupakan seorang pekerja HAM sekaligus Mediator Organisasi Solidaritas Hukum, HAM, dan Demokrasi Rakyat Sipil Papua untuk wilayah Papua Barat.
Desas-desus, syutttt... siapa yang tahu, "mana ku tahu...". Nyanyian burung camar tak lagi terdengar merdu, melainkan sembilu yang terasa begitu pedih, ternyata desas-desus itu adalah sesuatu yang menyakitkan.
"Diam....", seorang pewarta senior Internasional, mengungkap tabir dalam sebuah puisi tentang "Wahai Wakil Rakyat".
Katanya, "sakit itu masih menderaku, akibat siksa oknum TNI/POLRI, tapi mengapa engkau membisu, hanya keadilan yang ku inginkan, agar hukum bisa ditegakkan".
Wahai (pemerintah), kemanakah engkau saat kami berkeluh kesah. Kenapa engkau hanya diam tanpa desah. Membiarkan kami tanpa ada arah.
Apakah kami memang tak ada arti ? Sehingga engkau tak perlu perduli ?, Syarif Dayang menyudahi bait buisinya tanpa jawaban, toh bukan dia' yang berhak menjawabnya.
Apakah wakil rakyat ? Rido M Hastil seorang pewarta menyatakan dalam puisinya bahwa "itu hanya sebutan mu".
Berdasi, berjas, dan berpenampilan rapi.. itu gayamu. Pintar bicara kebiasaanmu... Engkau adalah harapan kami... harapan masyarakat kecil. Harapan seluruh rakyat Papua !
Namun engkau "busuk"... namun engkau penipu... namun engkau seperti bunglon... kalian membuat kami malu...
Dengan polosnya kalian janji mendukung kami. Jangan berbohong... Jangan hanya bersandiwara agar kalian terangkat seakan penyelamat...
Memalukan...! penuh kebohongan, penuh kekejaman... Jangan pernah melihat kami, agar nyawa selamat.
Kalian busuk... kami jijik pada kalian... silahkan bersenang.. silahkan wakil rakyat...! Makan uang kami tanpa malu lalu membunuh kami.
Ingat hukum alam... karma akan menunggu kalian.
Kau perisai bagi rakyatmu, kau juga duri dalam dagingku. Mana janji tulus setiamu. Karna besi, kau lawan bangsamu," demikian puisi tak berjudul yang dibacakan Usama, seorang pewarta foto "Haluan Papua" dalam ungkapan orasi "bernada" seni, Jumat sore.
Puisi tersebut mengandung makna tentang kekerasan oknum TNI & POLRI terhadap sejumlah wartawan yang mendapatkan tindak penganiayaan saat meliput berita Pelanggaran HAM Berat di Papua Barat Selama ini.
Bernada semilu, insan pers secara bergantian membacakan bait demi bait puisi tentang kebebasan pers yang terkekang, "terperangkap dalam sangkar burung, bukan emas namun kagalauan."
Apakah ini sebuah peringatan ? "Jika rakyat pergi, ketika penguasa pidato. Kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat bersembunyi, dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, maka kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan...!, demikian puisi Para “Oweack” yang dibacakan oleh Usama Usman Yogobi.
oweack merupakan seorang pekerja HAM sekaligus Mediator Organisasi Solidaritas Hukum, HAM, dan Demokrasi Rakyat Sipil Papua untuk wilayah Papua Barat.
Desas-desus, syutttt... siapa yang tahu, "mana ku tahu...". Nyanyian burung camar tak lagi terdengar merdu, melainkan sembilu yang terasa begitu pedih, ternyata desas-desus itu adalah sesuatu yang menyakitkan.
"Diam....", seorang pewarta senior Internasional, mengungkap tabir dalam sebuah puisi tentang "Wahai Wakil Rakyat".
Katanya, "sakit itu masih menderaku, akibat siksa oknum TNI/POLRI, tapi mengapa engkau membisu, hanya keadilan yang ku inginkan, agar hukum bisa ditegakkan".
Wahai (pemerintah), kemanakah engkau saat kami berkeluh kesah. Kenapa engkau hanya diam tanpa desah. Membiarkan kami tanpa ada arah.
Apakah kami memang tak ada arti ? Sehingga engkau tak perlu perduli ?, Syarif Dayang menyudahi bait buisinya tanpa jawaban, toh bukan dia' yang berhak menjawabnya.
Apakah wakil rakyat ? Rido M Hastil seorang pewarta menyatakan dalam puisinya bahwa "itu hanya sebutan mu".
Berdasi, berjas, dan berpenampilan rapi.. itu gayamu. Pintar bicara kebiasaanmu... Engkau adalah harapan kami... harapan masyarakat kecil. Harapan seluruh rakyat Papua !
Namun engkau "busuk"... namun engkau penipu... namun engkau seperti bunglon... kalian membuat kami malu...
Dengan polosnya kalian janji mendukung kami. Jangan berbohong... Jangan hanya bersandiwara agar kalian terangkat seakan penyelamat...
Memalukan...! penuh kebohongan, penuh kekejaman... Jangan pernah melihat kami, agar nyawa selamat.
Kalian busuk... kami jijik pada kalian... silahkan bersenang.. silahkan wakil rakyat...! Makan uang kami tanpa malu lalu membunuh kami.
Ingat hukum alam... karma akan menunggu kalian.
Oweack Asso
0 komentar:
Posting Komentar